RINGKASAN SEJARAH PERJALANAN RAJA KARLAUKEP RAJA KERAJAAN BATULOLONG

 
Raja Karlaukep berasal dari Tim-Tim keluar dari Lukubekele Eramera, jalan menuju beberapa tempat sampai di Likisa membuat perahu untuk menyebrang kepulau Alor.  Setelah raja Karlaukep bersama pengikutnya menyelesaikan pembuatan perahu,  datanglah Tangkerik (Tanglapui) memohon kepada Karlaukep agar bersama menyeberang kepulau Alor.  Raja Karlaukep menolak permohonan Tangkerik karena mereka memegang sulu/api atau dikatakan orang jahat, tetapi Tangkerik tetap memintahnya dengan sungguh-sungguh untuk bersama menyeberang kepulau Alor,  kemudian raja Karlaukep menyetujui permohonan Tangkerik dan perahu yang mereka gunakan diberinama GIRI-GIRI LAKMAKALA.  Giri-giri artinya haluan perahu di kuasai oleh Tangkerik (Tanglapui) memegang sulu di muka perahu.  Lakmakala artinya bahagian belakang atau kemudi dikuasai oleh  raja Karlaukep.
Setelah mereka mengambil persetujuan bersama, berlayarlah mereka menyeberang kepulau Alor dan mendarat di Asingwelolo Alor timur dan dilanjutkan ke Kiralela/Moukuru, mereka tinggal sementara di sana kemudian berangkat lagi lewat beberapa tempat sampai di Lantoka dan kedua suku ini yaitu Lupuikerik (suku raja Karlaukep dan Tangkerik (sukuTanglapui) berpisah.  Dalam perpisahan kedua suku ini dengan satu perjanjian bahwa meskipun harus berpisah namun sampai dimana pun kita tetap bersaudara. 
Setelah berpisah  rajaKarlaukep (Lupuikerik) bersama rombongannya berangkat lewat beberapa tempat persinggahan dan berpindahh-pindah sampai bertemu keluarga di Siboboi dan kemudian keluarga ini pun berpisah dan mereka membuat perjanjian dengan di buktikan bertukar nama mesbah yaitu lonkamirin dari raja Karlaukep di tinggalkan kepada keluarga di Siboboi dan Maleikamirin dari Siboboi di bawa oleh rombongan raja Karlaukep ke Eybeki lewat Amembur atau Padang Alang dan Silotman.
     Raja Karlaukep dan pesertanya sementara berada di Eybiki mereka membuat perahu dari tanah liat dan di dorong ke laut namun menjad icair, maka mereka membuat perahu dari papan kayu dan tetap di beri nama Lakmakala.  Sesudah perahunya di dorong ke laut, seorang saudaranya dari keluarga raja Karlaukep bernama Yepikerik  yang menderita penyakit bobak di suru menimba air dengan menggunakan bambu bocor dengan tujuan bahwa air tidak akan penuh dalam bambu dan mereka ingin meninggalkan Yupikerik di Eybiki.  Setelah Yepikerik menyadari bahwa saudara-saudaranya menipu dia maka segeralah dia kembali kepelabuhan Eybiki, setelah sampai kepelabuhan perahu Lakmakala sudah berlayar meninggalkan dia, maka Yepikerik berjalan menyusur pantai selatan ke timur sampai di Kayikgamin (Tanjungpiatu) dan menangis.  Saat sementara menangis, datang lah orang Kui/Lerabain kembali berniaga dari Erana sampai di tanjung piatu ada seorang anak yang sementara menangis di tanjung itu, lalu singgalah orang-orang Lerabain mengambil Yupikerik dan di bawanya ke Lerabain dan keturunannya sampai hari ini di sebut suku Moleleng Kubata di Lerabain.
Perahu Lakmakala terus menyusur pantai selatan menuju timur dengan menyanyikan lagu-lagu dayung sesuai irama lagu Kepukajang  yang syair-syair lagunya berbunyi:
KEPUKAJANG NEE ARA-ARA NOO ANEK LAKMAKALA NEE ARAA WE LI NANTOJOWABA.   NANTOJOWABA ARA-ARA NOO WELINATA JOWA NEE ARA AA WELINAN TA JO WA BA
yang  artinya:  anak buah Lakmakala dayung asa-asa menyusur pantai selatan dengan sorak gempita.  Setelah sampai  di Kiraman, di panggil lah mereka oleh dua bersaudara yang menjadi tuan tanah di Kiraman yang mempunyai delapan nama.  Nama-nama tuan tanah adalah sebagai berikut; Urmusu, Bermusu, Liakamena, Maleikamena, Sialulu, Malalok, Awantuku, dan Awanpasai. Kedua bersaudara tuan tanah ini berasal dari suku Misinkuri, setelah perahu Lakmakala di tarik ke darat pelabuhan Kedondong (MakunEylol) rombongan raja Karlaukep di antar oleh ke dua orang tuan tanah tersebut ke tengah kampung dan di beri tempat tinggal dan Karlaukep tetap menjadi Raja atas suku Misinkuri.
Setelah raja Karlaukep dan rombongannya di beri tempat tinggal oleh kedua kakak beradik tersebut, raja Karlaukep mengangkat batu dan membuat mesbah dan di beri nama Maleikemirin, setelah selesai pembuatan mesbah, raja Karlaukep dan kedua orang tuan tanah membuat sumpah janji memecahkan moko pusaka malaitanah Awanmakanan, raja Karlaukep berkata, “kamu telah memberi tempat tinggal tetap kepada kami dan mengangkat kami menjadi raja atas kamu, apabila anak istri dan keturunanmu mengambil sesuatu atau usaha di atas tanah ini atau kamu melarang atau mencegah maka kamu dan keturunanmu akan menjadi hancur dan habis seperti moko pusaka malaitanah yang telah di hancurkan hari ini”.  Maka sampai janji ini tetap berlaku hingga keturunan tuan tanah (sukuMisinkuri), sampai saat ini sudah tidak ada lagi kecuali suku Makaley  yang berada di Bokman tetapi tidak berani mengaku sebagai tuan tanah di Kiraman.  Sesudah raja Karlaukep, keturunannya berturut-turut menjadi raja sampai raja Lourensius Karimaley adalah raja yang ke duapuluh satu.


MASA RAJA-RAJA ADAT KERAJAAN BATULOLONG
SEBELUM PENJAJAHAN

Nama raja-raja adat kerajaan Batulolong sebelum penjajahan adalah sebagai berikut:
1.      Raja Karlaukep
2.      Raja Maleikari I
3.      Raja Awenlo
4.      Raja  Awengkari I
5.      Raja Losa
6.      Raja Asakamen
7.      Raja Laubana
8.      Raja Maleikari II
9.      Raja Lauika
10.  Raja Karlau
11.  Raja Laubaki
12.  Raja Kamusawen I
13.  Raja Karimalei
14.  Raja Sarata
15.  Raja Makunimau
16.  Raja Laukosi
Ke enam belas raja termasuk raja Karlaukep adalah raja adat sebelum masa penjajahan hingga raja-raja ini masing-masing membuat peraturannya sesuai dengan perkembangan adat dan kebudayaannya mereka (caraprimitif).

 
MASA RAJA KARIMALEYGAPADA SESUDAH
PORTUGIS  MENGUASAI WILAYAH TIM-TIM
TAHUN 1555 SM (JAMAN PORTUGIS)

Karimaleygapada adalah raja yang ke (17) sementara ia berada di Tim-Tim Likisa/ Bui douse bagai seorang usahawan, saat itu ia sudah beristri dan istrinya berasal dari Cina Makau, ia juga mempunyai seorang anak puteri.
Akibat raja  yang ke enam belas raja Laukosi telah di bunuh oleh orang Kui karena puterinya Silomai adalah tunuangan raja Kui yang di kawinkan dengan pemuda dari Kiraman bernama Seljen berasal dar isuku Misinkuri sehingga raja Laukosi ayah dari anak perempuan Silomai sampai harus menjadi korban di bunuh oleh orang Kui, sejak saat itu kerajaan Batulolong sudah tidak mempunyai raja.  Setelah kejadian itu orang-orang tua dari ke tiga keluarga besar yaitu, Mailani dar iSiboboi, Laumakan dari Sidimana bertemu dengan orang-orang tua dari Kiraman bermufakat untuk memanggil Karimaleygapada dari Tim-Tim dengan cara menipu bahwa ayahnya sedang sakit keras dengan tujuan Karimaleygapada bisa kembali ke Kiraman untuk menjadi raja.  Setelah Karimaleygapada mendengar berita tersebut dari utusan dari Kiraman, berangkat lah mereka ke Alor namun Karimaleygapada tidak membawa isteri dan anaknya karena utusan dari Kiraman melarangnya untuk membawa isteri dan anak.  Sesampainya mereka di Kiraman Karimaleygapada di kawinkan dengan seorang puteri dari keluarga Malaimakuni yang bernama Lapalai sehingga isteri dan anaknya di Tim-Tim di ceraikan dan Karimaleygapada tetap menjadi raja Batulolong.
Di perkirakan pada tahun (1655 SM) di bawah penjajahan Portugis segala upeti atau pajak di pungut dari rakyak berupa bahan makanan dan hewan ternak untuk di bawa ke Tim-Tim dengan menggunakan perahu Lakmakala dan di serahkan kepada Atubai (GubernurJenderal di Deli).
Masa raja Karimaleygapa luas kerajaan Batulolong sampai di Tanglipui Lantoka karena pada masa itu hubungan sejarah belum mempunyai ketentuan batas kerajaan yang di tetapkan oleh pemerintah Portugis maka raja Karmaleygapada selalu mengungjungi rakyatnya sampai ke Tanglapui Lantoka dan mempunyai seorang pembantu Fetor di Tanglapui bernama Lekilana Lipuilana maka selalu diucapkan raja Karimaley-Karimaleygapada di Kiraman Fetor Lekilana Lupuilana di Erana.
Selama kepemimpinan raja Karimaleygapada, ia mempersiapkan kekuatan perang untuk berperang melawan orang Kui membalas dendam atas pembunuhan raja Laukosi sehingga tercetus lah peperangan yang sengit antara orang Kiramandan orang Kui di kampung Lerabain.  Peperangan itu memakan banyak korban jiwa yang mati dengan pedang dan kerugian harta benda dar ipihak orang Lerabain/Kui.
Dalam masa raja Karimaleygapada, Tanglapui dan Lembur Bukapiting masih dalam wilayah kerajaan Batulolong di bawa penjajahan pemerintah Portugis kemudian raja Karimaleygapada menjadi tua dan anaknya Kamusawen II menggantikan ayahnya menjadi raja di bawa penjajahan pemerintahan Portugis, sedang Tanglipui sudah di tangan raja Kolana di bawa pemerintahan Belanda.


Sumber Wawancara Langsung: C.M KARIMALEY